Renungan untuk BAKI
PGI 2015
Minggu, 1 Maret 2015
(Minngu 2 Pra Paskah)
Markus 8: 31-38
Mengikut Yesus tanpa Malu dan Takut
Kita banyak mendengar di kalangan
kita, gereja-gereja, ada upaya-upaya untuk ‘memelihara’ umat Tuhan melalui
latihan-latihan kerohanian yang membangkitkan semangat kerohanian yang
cenderung eksklusif dan sektarian. Di kalangan pemuda dan mahasiswapun,
upaya-upaya serupa terjadi, sebagai contoh dalam suatu latihan kepemimpinan
pemuda saya diminta memfasilitasi percakapan tentang ‘kepastian keselamatan’.
Dalam diskusi, cukup kuat dianut pandangan agar pemuda gereja tidak bergaul dengan
pemuda yang berbeda agama. Mereka kuatir nanti terjadi perbauran keyakinan yang
berujung meninggalkan keyakinannya. Saat
saya menyampaikan beberapa masalah sosial kemasyarakatan, kurang mendapat
tanggapan.
Dalam suatu kesempatan di
kalangan kampus, saat berbicara tentang spiritualitas, saya mengatakan
spiritualitas seseorang akan nyata saat ia berada, berbaur dengan kenyataan
keseharian : berada di lingkungan orang-orang yang suka mabuk, dan anda tidak
ikut mabuk; berada bersama dengan yang berbeda keyakinan, dan anda tetap yakin
akan keyakinanmu. Dengan kata lain, spiritualitas akan nyata bukan terutama
pada saat mengikuti ibadah-ibadah seremonial, pada hebatnya adu argumentasi
keyakinan, melainkan pada dan harus nyata turut berpartisipasi aktif
menanggulangi permasalahan dalam masyarakat.
Saya ingat waktu saya praktek KKN
di salah satu desa di Kabupaten Minahasa pada tahun 1978. Bersamaan dengan itu,
juga praktek di jemaat yang berlokasi di dua desa. Satu jemaat di dua desa.
Praktek KKN saya di desa A. Jadi ada
kesempatan memimpin ibadah jemaat. Sehari kemudian, saya mendapat informasi
bahwa saya akan dilaporkan ke polisi oleh Hukum Tua/Kepala Desa B, karena
menentang pemerintah desa. Wah...untung saja pendeta memberi penguatan pada
saya agar khotbah saya yang tertulis itu, disiapkan atau diperlihatkan bila
memang saya dilaporkan karena khotbah itu. Nah, bahan Alkitab yang mendasari
khotbah saya ialah pembacaan ini, Markus 8:31-38. Saya memberi contoh ‘bila ada
pengumuman pemerintah untuk kerja bakti pada hari/waktu kita beribadah, kita
tidak harus ikuti… nanti cari hari/waktu lain’. Hal ini sengaja saya angkat
karena pernah terjadi hari minggu, waktu ibadah di gereja, diumumkan oleh Hukum
Tua/Kepala Desa untuk kerja bakti. Sebaliknya, kalau jemaat bekerja bakti untuk
mengumpulkan batu dan pasir dari sungai untuk pembangunan gedung gereja, sang
Hukum Tua itu tidak senang, padahal ia juga adalah salah seorang anggota
jemaat. Benar…saya dilaporkannya ke polisi. Polisipun datang di kantor desa A
dan bertanya kepada Hukum Tua A tentang keberadaan saya. Akhirnya, hanya naskah
khotbah saya yang mereka minta.
Kembali ke naskah kita hari ini.
Yesus mengajar para murid-Nya, bahwa Ia,
Anak Manusia harus menderita, ditolak
oleh tua-tua, imam-iman kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit
sesudah tiga hari. Yesus-pun kemudian berkata kepada orang banyak bahwa setiap
orang yang mau mengikut-Nya, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan
mengikut Yesus…sebab barangsiapa malu
karena Yesus dan karena perkataan-Nya… Ia, Anak Manusia-pun akan malu karena
orang itu…
Ternyata pengajaran bahkan
pernyataan tentang penderitaan Yesus bukanlah suatu teori belaka, melainkan suatu
kenyataan yang bertolak dari pengalaman hidup-Nya. Pengalaman penderitaan-Nya
ini adalah jalan keselamatan kita. Keselamatan sangat terasa di saat-saat yang
sulit dan terpuruk. Penderitaan dan kematian Yesus berakhir dengan kebangkitan-Nya.
Artinya, penderitaan dan bahkan kematian bukanlah tujuan, tetapi jalan menuju
pada kebangkitan, atau kemenangan. Sebab itu, kita para pengikut-Nya tetap siap
dalam segala situasi, terutama dalam situasi sulit, untuk menyatakan
kepengikutan kita tanpa malu dan tanpa takut.
Kalau harus menderita demi Yesus dan Firman-Nya, maka kita sedang turut
menderita bersama-Nya menuju kehidupan kekal.
Kita sedang berada di minggu ke-2
Pra Paskah. Mari kita bertanya dan berefleksi, apakah kita sedang mengikut Dia
dengan menyangkal diri dan memikul salib kita? Apakah di tengah permasalahan
kemasyarakatan, kita berada di sana, tanpa malu dan tanpa takut, atau kita
tidak berada di sana karena malu dan takut, atau kita hanya sibuk dan tekun
beribadah seremonial yang eksklusif dan sektarian saja, dan dengan bangga
mengklaim diri sebagai yang paling benar, paling kudus, paling suci? Mari kita
jawab dalam komitmen iman yang sungguh, tegar dan tangguh. Semoga. Amin. (KAK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar