Senin, 01 September 2014

Mengikut Yesus tanpa Malu dan Takut

Renungan untuk BAKI PGI 2015
Minggu, 1 Maret 2015 (Minngu 2 Pra Paskah)

Markus 8: 31-38
Mengikut Yesus tanpa Malu dan Takut

Kita banyak mendengar di kalangan kita, gereja-gereja, ada upaya-upaya untuk ‘memelihara’ umat Tuhan melalui latihan-latihan kerohanian yang membangkitkan semangat kerohanian yang cenderung eksklusif dan sektarian. Di kalangan pemuda dan mahasiswapun, upaya-upaya serupa terjadi, sebagai contoh dalam suatu latihan kepemimpinan pemuda saya diminta memfasilitasi percakapan tentang ‘kepastian keselamatan’. Dalam diskusi, cukup kuat dianut pandangan agar pemuda gereja tidak bergaul dengan pemuda yang berbeda agama. Mereka kuatir nanti terjadi perbauran keyakinan yang berujung  meninggalkan keyakinannya. Saat saya menyampaikan beberapa masalah sosial kemasyarakatan, kurang mendapat tanggapan.
Dalam suatu kesempatan di kalangan kampus, saat berbicara tentang spiritualitas, saya mengatakan spiritualitas seseorang akan nyata saat ia berada, berbaur dengan kenyataan keseharian : berada di lingkungan orang-orang yang suka mabuk, dan anda tidak ikut mabuk; berada bersama dengan yang berbeda keyakinan, dan anda tetap yakin akan keyakinanmu. Dengan kata lain, spiritualitas akan nyata bukan terutama pada saat mengikuti ibadah-ibadah seremonial, pada hebatnya adu argumentasi keyakinan, melainkan pada dan harus nyata turut berpartisipasi aktif menanggulangi permasalahan dalam masyarakat.
Saya ingat waktu saya praktek KKN di salah satu desa di Kabupaten Minahasa pada tahun 1978. Bersamaan dengan itu, juga praktek di jemaat yang berlokasi di dua desa. Satu jemaat di dua desa. Praktek KKN saya di desa A.  Jadi ada kesempatan memimpin ibadah jemaat. Sehari kemudian, saya mendapat informasi bahwa saya akan dilaporkan ke polisi oleh Hukum Tua/Kepala Desa B, karena menentang pemerintah desa. Wah...untung saja pendeta memberi penguatan pada saya agar khotbah saya yang tertulis itu, disiapkan atau diperlihatkan bila memang saya dilaporkan karena khotbah itu. Nah, bahan Alkitab yang mendasari khotbah saya ialah pembacaan ini, Markus 8:31-38. Saya memberi contoh ‘bila ada pengumuman pemerintah untuk kerja bakti pada hari/waktu kita beribadah, kita tidak harus ikuti… nanti cari hari/waktu lain’. Hal ini sengaja saya angkat karena pernah terjadi hari minggu, waktu ibadah di gereja, diumumkan oleh Hukum Tua/Kepala Desa untuk kerja bakti. Sebaliknya, kalau jemaat bekerja bakti untuk mengumpulkan batu dan pasir dari sungai untuk pembangunan gedung gereja, sang Hukum Tua itu tidak senang, padahal ia juga adalah salah seorang anggota jemaat. Benar…saya dilaporkannya ke polisi. Polisipun datang di kantor desa A dan bertanya kepada Hukum Tua A tentang keberadaan saya. Akhirnya, hanya naskah khotbah saya yang mereka minta.
Kembali ke naskah kita hari ini. Yesus mengajar  para murid-Nya, bahwa Ia, Anak Manusia harus  menderita, ditolak oleh tua-tua, imam-iman kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari. Yesus-pun kemudian berkata kepada orang banyak bahwa setiap orang yang mau mengikut-Nya, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Yesus…sebab  barangsiapa malu karena Yesus dan karena perkataan-Nya… Ia, Anak Manusia-pun akan malu karena orang itu…
Ternyata pengajaran bahkan pernyataan tentang penderitaan Yesus bukanlah suatu teori belaka, melainkan suatu kenyataan yang bertolak dari pengalaman hidup-Nya. Pengalaman penderitaan-Nya ini adalah jalan keselamatan kita. Keselamatan sangat terasa di saat-saat yang sulit dan terpuruk.  Penderitaan dan  kematian Yesus berakhir dengan kebangkitan-Nya. Artinya, penderitaan dan bahkan kematian bukanlah tujuan, tetapi jalan menuju pada kebangkitan, atau kemenangan. Sebab itu, kita para pengikut-Nya tetap siap dalam segala situasi, terutama dalam situasi sulit, untuk menyatakan kepengikutan kita tanpa malu dan tanpa takut.  Kalau harus menderita demi Yesus dan Firman-Nya, maka kita sedang turut menderita bersama-Nya menuju kehidupan kekal.
Kita sedang berada di minggu ke-2 Pra Paskah. Mari kita bertanya dan berefleksi, apakah kita sedang mengikut Dia dengan menyangkal diri dan memikul salib kita? Apakah di tengah permasalahan kemasyarakatan, kita berada di sana, tanpa malu dan tanpa takut, atau kita tidak berada di sana karena malu dan takut, atau kita hanya sibuk dan tekun beribadah seremonial yang eksklusif dan sektarian saja, dan dengan bangga mengklaim diri sebagai yang paling benar, paling kudus, paling suci? Mari kita jawab dalam komitmen iman yang sungguh, tegar dan tangguh. Semoga. Amin. (KAK)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar