Memberi Persembahan dengan Tulus *
Markus 12 :38-44
Ada orang yang memiliki kekayaan
yang luar biasa banyaknya, tetapi juga ada banyak sekali orang yang hidupnya
susah dan miskin. Ada kesenjangan yang amat kentara baik dari segi kuantitas
maupun kualitas. Pertanyaannya di sini ialah apakah orang yang kaya lantas secara spontan rela
memberi dan berbagi. Saat saya berkunjung melayani di jemaat-jemaat, saya
mendapati bahwa yang lebih banyak dan besar memberi dan berbagi adalah jemaat
yang berkekurangan daripada jemaat yang
berkecukupan bahkan berkelebihan. Begitu juga dalam hal keramahan dan
ketulusan. Banyak orang memberi untuk mengumpul bagi
dirinya/kelompoknya/jemaatnya/gerejanya, tetapi masih kurang orang berbagi dari
apa yang dikumpulkannya. Makanya tidaklah heran bila banyak uang tapi tidak
pernah merasa cukup, akibatnya jatuh dalam perbuatan korupsi. Sedangkan orang
yang mengumpul untuk berbagi karena ia ingin menjadi berkat bagi yang lain, ia
berbagi dengan tulus tanpa maksud untuk sosialisasi diri.
Pembacaan Alkitab perikop kedua
yaitu ayat 41-44 menceritakan tentang seorang janda miskin yang memberi
persembahan dari semua yang ada padanya. Pada waktu yang sama banyak orang
memberi persembahan dalam jumlah yang
besar. Tuhan Yesus memandang bahwa pemberian janda miskin ini lebih banyak
daripada pemberian semua orang lainnya. Itu berarti selain banyak orang kaya,
ada pula orang yang tidak kaya di situ, mungkin bertaraf ekonomi menengah atau
kurang selain si janda miskin ini Dalam hal ini Yesus lebih melihat pada
prosentase daripada sejumlah angka. Si kaya memberi banyak dari kelimpahannya,
mungkin pemberiannya hanya sepersepuluh (10%) dari keseluruhan miliknya, yang
lain mungkin memberi 50% sampai 75%. Sedangkan si janda miskin memberi 100%.
Tuhan Yesus memandang pemberian persembahan dalam hal kualitas (prosentase) dan
bukan pada kuantitas (jumlah nominal uang). Persembahan janda miskin ini dapat
dihubungkan dan dimaknai dengan hakikat persembahan seluruh tubuh seperti yang
tercatat dalam Roma 12: 1 “ …supaya kamu
mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang
berkenan kepada Allah : itu adalah ibadahmu yang sejati”. Jadi, pandangan Yesus
jelas bahwa persembahan itu adalah seluruh hidup. Dasar teologis di bagian
Alkitab ini ialah memberi karena sudah diberi, memberi dengan tulus bukan
karena peraturan atau ketentuan. Dalam hal ini, perlu jelas apa maksud kita
dengan persembahan persepuluhan pada masa kini : hanya untuk dan dalam ibadah
di gereja-kah ?
Saya membayangkan seorang
pendeta/gembala sidang duduk di bagian depan dekat mimbar menghadap
tempat/kotak persembahan dan memperhatikan anggota jemaat yang memasukkan uang
ke dalamnya. Apalagi sekarang ini sudah ada jemaat yang membuat kotak
persembahan yang seluruhnya terbuat dari kaca tembus pandang. Saya merasa tidak
sejahtera bahkan sedikit ‘marah’ menyaksikan kotak persembahan ini. Ada orang kaya yang memberi dengan jumlah yang
besar dalam sampul yang tertera namanya, dan ada seorang janda miskin memberi
semua uang yang ia miliki tanpa sampul Apa kira-kira yang akan dilakukan
oleh pendeta/gembala sidang itu?
Kemungkinan besar ia akan mengumumkan jumlah
uang pemberian dari orang kaya itu. Sebab baginya yang penting kuantitas
(berapa besar jumlah uang) bukan kualitas (berapa persen). Bahkan kepada
anggota jemaat kaya itu disampaikan ucapan terima kasih yang hangat serta
pujian. Sementara itu, pemberian anggota jemaat yang miskin itu luput dari
perhatiannya. Jadi persoalan di sini bukan pertama-tama kepada orang yang memberi,
tetapi pada pandangan (teologi) dari pendeta/gembala sidang itu. Bila bayangan
saya itu terjadi, maka yang pertama-tama harus berubah ialah si pendeta/gembala
sidang itu. Jangan-jangan teologi (alkitabiah) yang ia ketahui tidak mampu
dipraktekkan dalam pelayanannya. Dalam hal ini, ayat 38-40 pembacaan awal kita
perlu mendapat perhatian yaitu agar berhati-hati terhadap ahli-ahli Taurat.
Memberi dari kekurangan menurut
ukuran manusia, ternyata menurut Yesus si janda miskin itu telah memberi dari
seluruh yang dia miliki. Kekayaan dari si janda miskin ini ialah ia tidak
kuatir akan hidupnya termasuk akan apa yang ia akan makan dan minum nanti. Ia
kaya dalam kemurahan. Ia kaya dalam spirit hidup..Iapun memberi tanpa maksud
apa-apa, apalagi untuk pamer dan cari nama. Dengan memberi seluruhnya maka ia
telah turut bersama dalam penyaluran
berkat Tuhan yang digunakan untuk membangun kehidupan persekutuan.
Dalam dunia sekarang, di mana orang
semakin individualistis dan yang mengukur segalanya dengan uang, telah
menyebabkan orang berduit, pejabat publik yang berjabatan gerejawi
(Pendeta/Penatua/Syamas atau Diaken) dan aktivis gereja terlibat praktek
korupsi. Korupsi bukan sekedar mengambil yang bukan haknya, tetapi bersamaan
dengan itu juga melakukan ketidak-adilan, ketidak-jujuran dan ketidak-benaran.
Bukan tidak mungkin yang menjadi korban adalah anggota jemaat yang ia sendiri
layani sebagai pelayan jemaat, dan sudah pasti yang menjadi korban adalah
anggota masyarakat yang ia layani sebagai pejabat publik.
Sementara itu banyak orang yang
berkekurangan bahkan miskin kurang mendapat perhatian dari gereja, padahal
mereka itulah yang paling banyak menyumbang tenaga dan segala yang ada padanya
dengan tulus untuk kebersamaan/persekutuan. Mereka adalah pelaku pontensial
dalam berjemaat/bermasyarakat. Mereka adalah subyek dan obyek dalam kebersamaan
yang setara dengan semua orang dalam bergereja/bermasyarakat. Kekayaan gereja
adalah orang dan bukan uang. Bila demikian
maka dengan sendirinya seluruh yang ada padanya juga. Inilah kekayaan
dan kekuatan bersama. Inilah karunia Tuhan yang harus terus menerus
diberdayakan dan memberdayakan. Amin
- Dimuat di Harian Tribun Manado, Minggu 31 Agustus 2014,
hlm 1 dan 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar