Senin, 01 September 2014

Khotbah di Pastori, 4 Febr 2014

Khotbah pada Mendiami Rumah sebagai Pastori Jemaat Kakaskasen Eben Haezer
Selasa, 4 Februari 2014
Oleh : Pdt. Karolina Augustien Kaunang
 Matius 7:24-27// Lukas 6: 46-49
Saya memilih bagian Alkitab ini dalam dua versi, yaitu versi Matius dan versi Lukas. Keduanya berbicara tentang dua dasar. Ada dasar yang kuat, ada dasar yang tidak kuat. Kita semua tahu tentang bangunan rumah. Fondasi musti kuat. Kalau tidak kuat gampang rubuh dan rusak. Kalau dasar kuat, sebesar apapun angin dan banjir tidak akan merubuhkannya atau merusakkannya atau menghanyutkannya (seperti ada banyak rumah yang hanyut karena banjir bandang). Dua macam dasar ini dikhotbahkan oleh Yesus  di atas bukit (Matius 5-7). Ini adalah gambaran dari hidup beriman para murid Yesus dan para pengikut-Nya , ya…kita orang percaya/orang Kristen.
Coba kita perhatikan kenyataan hidup kita dan di sekitar kita. Coba kita perhatikan banyaknya gedung gereja yang mewah/megah di kampung-kampung/desa-desa terdalam sekalipun. Coba kita perhatikan gedung-gedung gereja yang megah di tengah kota yang berdekatan (muka, belakang, samping kiri dan kanan) rumah-rumah yang tidak standard (kita kutip istilah ini dalam khotbah pendeta Cherly Rantung, yang bersama keluarga Porajow-Rantung akan mendiami rumah ini). Kalau pakai ukuran pemerintah, rumah yang tergolong miskin absolute (lantai tanah, dinding bambu, atap rumbia) selain ada yang miskin fasilitas dasar/standard maar ada alat-alat hiburan elektronik, masih banyak di sekitar kita. Saya sempat mengambil gambar gedung gereja Katolik St.Ignatius di Kanaka, yang sementara dibangun, nampak besar sekali, megah, kokoh, prestisius (bergengsi, bermartabat tinggi, berwibawa) yang berseberangan dengan lokasi bencana banjir bandang di jemaat Maranatha Karame. Dalam FB saya beri komentar sangat kontras.
Artinya, kita membangun dengan dasar yang kokoh, kuat, jelas, tetapi tidak berarti menjadi prestasi kita- kita jadi sombong, angkuh, tidak friendly dengan tetangga, menjaga jarak. Apalagi kalau so pagar kiri kanan, muka belakang dengan beton yang tinggi (betonisasi), wah … sangat tidak humanis. Kekokohan, kekuatan, kejelasan atas suatu bangunan itu harusnya jadi berkat. Akan kentara dalam pergaualan, persahabatan, kebersamaan, solidaritas (rasa setiakawan), seperti orang tua-tua kita dulu: boleh baku minta : garam, rica, rampah-rampah, dsb.
Demikianlah dengan rumah pendeta ini, pastori. Menjadi rumah berkat, rumah yang ramah dengan rumah-rumah di sekitarnya, rumah yang terbuka untuk membantu, melayani. Dengan demikian jadi nyata kehidupan beriman yang jadi berkat. Beriman yang siap melayani, membantu, memberdayakan, berbagi segala kelebihan dan juga kekurangan. BUkan tidak mungkin, ada saat di mana pendeta dan keluarga memerlukan bantuan para tetangga : tolong lia-lia akang tu rumah …
Cara seperti mencerminkan kokohnya iman kita. Tidak hanya mengkhotbahkan hidup rukun, damai – tetapi terlebih lagi menyatakannya dalam hidup sehari-hari, dalam pergaulan kemanusiaan tanpa pandang bulu, apalagi pandang enteng.
Kita bersukacita atas tersedianya rumah pendeta ini. Tanda kedewasaan berorganisasi dalam bergereja. Ini rumah jemaat, rumah kita semua melalui wakil kita Pdt. Cherly dan keluarga.
Semoga dari rumah ini, pelayanan untuk terus membangun dan mengembangkan hidup beriman jemaat dapat dialami oleh kita semua. Dan kiranya keluarga Porajow-Rantung merasa aman dan bahagia berada di rumah ini. Semoga tidak akan ada lagi anak pendeta (yang masih kecil) berkata begini “mama torang ini bukan batinggal di rumah, torang ini ba tinggal di kamar” alias ba kontrak kamar.
Amin
                                                                                                  Kakaskasen Tiga, 4 Februari 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar