Renungan
untuk BAKI PGI 2016
Sabtu
Sunyi , 26 Maret 2016
Pembacan
Alkitab : Ratapan 3:1-9, 19-24; Masmur 31:1-4,
15-16; I Petrus 4:1-8; Yohanes 19:38-42
Yesus dikuburkan untuk kehidupan berkualitas
Sekarang ini ada jenazah yang tidak ‘dikuburkan’ di dalam tanah atau di dalam
gua, melainkan dikremasikan. Juga antara
peristiwa kematian dan waktu penguburan memerlukan waktu yang panjang seperti di
Toraja. Apapun juga tempat dan waktu
peristiwa penguburan itu, satu hal yang pasti ialah ada peristiwa kematian dan
penguburan. Penguburan Yesus adalah salah satu bukti bahwa Ia pada satu pihak adalah
manusia adanya, seperti kita manusia. Hanya saja penguburannya dengan penguburan
kita berlatar dan bermakna berbeda.
Kemarin kita
mengingat dan merayakan hari kematian-Nya, Jumat Agung. Kematian-Nya sebagai
tanda solidaritas dengan kita manusia yang berdosa. Prosesnya penuh derita
bukan karena sakit atau kecelakaan. Derita karena dikhianati oleh salah seorang
murid-Nya, yang mestinya paling tahu tentang siapa Gurunya, ajaran-Nya,
etika-Nya, kehidupan-Nya – ya praxis-Nya. Derita karena mengedepankan kebenaran
dengan cara tidak membela diri-Nya sendiri sebagaimana terungkap dalam dialognya dengan Pilatus. Dengan begitu, maka
penguburan-Nya menjadi bukti keikhlasan-Nya menanggung derita kehidupan yang
ditimpakan kepada-Nya, yang seharusnya ditanggung oleh manusia. Penguburan-Nya
adalah tanda kerelaan-Nya untuk menanggung dosa-dosa manusia dan isi dunia ini.
“…Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya
Aku memberi kesaksian tentang kebenaran…” (18:37).
Dengan
penguburan, maka kedirian-Nya lengkap hilang ‘ditelan’ bumi. Menyatu dengan bumi,
tak kelihatan dan tak berbekas. Purnalah pengorbanan diri-Nya. Namun, seperti
biji-bijian yang ditanam di dalam tanah untuk bertumbuh menjadi tumbuhan yang
baru, demikianlah penguburan-Nya bukanlah akhir dari misi-Nya. Ia bangkit dan
menang untuk kemenangan kita. Seperti syair lagu dalam Kidung Jemaat 341
“Kuasa-Mu dan Nama-Mulah…”
Tahap-tahap kehidupan
sebagai manusia telah Ia lalui. Lahir, berkarya, wafat dan dikuburkan. Yang istimewa dari tahap-tahap ini ialah antara
karya dan wafat, Ia menderita; antara
penderitaan dan kematian sampai wafat ada fakta Ia disalibkan.
Lalu, apa
artinya penguburan-Nya bagi kita? Kebenaran dan keadilan adalah bagian utuh
dari hakikat dan tanda dari kehidupan yang berselamat. Penguburan adalah simbol
dari tuntasnya perjuangan untuk banyak orang. Dosa manusia bukan hanya
disalibkan, tetapi lebih dari itu dikuburkan. Untuk dapat hidup baru, hidup
berkualitas benar dan adil, kita harus meninggalkan total kehidupan dosa di
masa lampau. Dengan kata lain, bertobat, ya…berbalik sama sekali. Jangan
menyisakan sedikitpun sifat dan karakter
lama, bila ingin memasuki cara hidup baru. Hidup ini tidak cukup hanya dengan
menggaungkan visi dan misi yang luar biasa bahkan nyaris ‘sempurna’ bila
ditinjau dari sudut kekristenan. Harus diaktakan dalam proses yang benar, dalam
sifat dan karakter yang benar, dengan tulus tanpa pamrih. Terlalu sering kita
mendengar ada para orator, pengkhotbah di lapangan-lapangan terbuka, para
guru/dosen (juga teolog) yang pinternya luar biasa. Tetapi dalam hidup
sehari-hari tidak ia aktakan. Bahkan saya sempat dengar ungkapan ini “dengar
apa yang saya katakana, tapi jangan lihat apa yang saya lakukan”. Waw…di
sinilah letaknya permasalahan besar dan dalam di Negara dan bahkan dalam
‘menggerja’ kita. Semakin banyak orang mencapai tingkat pendidikan tinggi,
bahkan dengan cara-cara dan proses yang tidak benar. Hasilnya terbukti dalam
karya abdi yang buruk, yang tidak berakar dalam kehendak-Nya. Dalam studi
institute tentang Ekklesiologi “Menggeraja Secara Baru”, Juni 2015, terungkap
kira-kira begini ‘banyak yang menyebut diri hamba Tuhan, tetapi yang menerobos
masuk dalam antrean panjang dan mendapat tempat duduk terhormat…’
Satunya kata,
ide, visi dan akta,perbuatan, fakta tidak ‘nyambung’ bahkan tidak ada.
Integritas tidak nampak. Para pemimpin (gereja) harus lebih dulu berbenah diri,
bertobat, menyatukan kata dan perbuatan. Bukankah pemimpin adalah contoh?
Lihatlah Dia, Anak Manusia, Yesus. Dialah contoh kita. Kehendak dan karya serta
sifat/karakter-Nya adalah visi dan misi para pemimpin. Tetapi, bila para
pemimpin tidak melakukannya, marilah kita yang dipimpin melakukannya. Sebab
Yesus adalah contoh langsung. Kita beriman kepada-Nya, bukan kepada para
pemimpin gereja. Kita adalah kawan sekerja-Nya di dalam dunia yang diciptakan
‘baik adanya’. Ingatlah senantiasa Yesus dikuburkan untuk kehidupan baru yang berkualitas
terandalkan. Semoga! (KAK)